Sabtu, 10 April 2010

BALADA SAHDI- SAHDIA
[DRAMA SATU BABAK]

OLEH : MAX ARIFIN


CATATAN:
Naskah ini “lahir” setelah mengalami pengendapan dan perenungan yang cukup lama. Pematangannya makin dipercepat antara lain oleh:
1.Keterkejutan atas tenggelamnya kapal Darma Mulia pada tanggal 20 Mei 1989 [Hari Kebangkitan Nasional !] yang menewaskan lebih dari 35 orang, tertera dalam banyak guntingan koran dan majalah.
2.Penjelajahan intensif ke desa-desa di kawasan Lombok Selatan;
3.Membaca buku langit suci karangan Peter l.Berger, terutama konsepnya tentang anomik dan alienasi.
4.Kekaguman terhadap semangat yang terpendam dalam catatan-catatan pinggir Goenawan Mohammad di Majalah TEMPO yang merupakan geliatan-geliatan seorang intelektual sejati.
Mungkin di sana ada satu dua kalimat dan frase-frase yang kami kutip agar semangat itu tetap utuh milik Goenawan Mohammad.
Uacapan maaf dan terima kasih saya ucapkan.
5.Kegemasan pada jawaban para pejabat di Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan desa-desa yang mengatakan: “Ah, itu kan cuma soal-soal mikro!”.

Untuk pementasan naskah ini, harap menghubungi penulisnya:
MAX ARIFIN,
Jl.Bola Volley Blok E 33,
Perum Griya Japan raya, Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa Timur
Telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39 807



Pelaku utama:
1.SAHDI : 30 tahun
2.SAHDIA : 25 tahun
3.Dan lain-lain sesuai kebutuhan.

Waktu: Malam hari.

Tempat:
Masing-masing berada dalam sebuah ruangan- - -dibatasi- oleh cahaya- - -.
Suasana desa.



Pada mulanya adalah gelap dan sunyi. Kemudian di kejauhan sekali-sekali terdengar gonggongan anjing. Lalu, lewat tengah malam terdengar sayup-sayup sampai gema suara anak-anak menyanyikan lagu suku bangsanya, lagu Kadal Nonga.
Lagu makin lama makin keras, bersamaan dengan lewatnya empat-lima keluarga yang berjalan perlahan dalam bayangan, melintasi tengah pentas [dari kanan ke kiri] menantang cahaya awal menjelang subuh.
Para LELAKI berjalan di depan membawa peralatan untuk menangkap ikan; WANITA dan anak-anak mengikuti di belakang membawa bakul dan bekal makanan.
Perjalanan makin menjauh menuju ke Selatan. Suara-suara menghilang dan seberkas cahaya pagi menerpa wajah seorang dukun/belian tua duduk di batu karang.
Belian mengucapkan kata-kata:

Aku jalan mengikuti jejak-jejak ke pantai
memare made nenek moyangku
dan suara-suara, tawa dan nyanyi
Datang mendorong memberi semangat.

Memare made di teluk Ekas
tidak jauh dari gubuk tinggalku
gubuk pindahan dari tempat ke tempat
dan tinggal selama sanggup bertahan
Seperti nenek moyang yang rindu keakanan.
Kini kami berada di sana
yang dulu muda
kini tua dan tinggal tak karuan
dan kerinduanku cumalah gema
mimpi yang silih berganti
datang menjelang sepanjang jejak
di mana api unggun sering menyala

Kemudian datang Amaq SAHDI
dalam usia dua puluh dua tahun
mengawini si Saenah
kebanggaan menyelimuti desa
sesepuh-sesepuh kami yang dulu itu
yang terdampar di Gunung piring
dan sebagian di Batunampar
semuanya tergulung dalam cakepan
lontar yang membisu
dan sebagian terjebak jadi nunas.

Kini kami yang ada di sana
yang dulu muda
sekarang tua dan hidup tak karuan
dan kerinduanku cumalah gema
dalam mimpi yang silih berganti
datang menjelang di sepanjang jejak ini
di mana api unggun sering menyala.

Kemudian pentas menjadi gelap.

ADEGAN SATU

Ketika pentas masih gelap, terdengar lagi sayup-sayup lagu Kadal Nonga dibawakan oleh suara WANITA, lambat dan memelas. Pada saat itu cahaya membias di kedua ruang yang ada di pentas----SAHDI sedang duduk di amben, tempat tidurnya [ di kiri] dan SAHDIA di kanan [juga duduk di amben/balai-balai].
Keduanya saling membelakangi. Kemudian mereka bangun, berdiri, saling berhadapan, memandang ke depan, ke kejauhan.

SAHDIA:
Ingin kukabarkan padamu, tapi aku tidak tahu di mana kau.
Sekarang aku sendirian di desa.
Inaq meninggal tiga bulan yang lalu.
Amaq berangkat dengan rombongan sebulan yang lalu. Katanya mau ke Sulawesi selatan. Atau ke Irian jaya.
Aku tidak tahu tepatnya.

[PAUSE].

Aku ingin menceriterakan semuanya padamu. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Aku sudah lelah. Memikirkan kau. Memikirkan kelanjutan hidup di sini.

[PAUSE]

Masih ada sisa tanah tiga are lagi, tanah kebun dekat pantai sana. Sedang tanah sawah yang 1 ½ are tidak cukup untuk makan setahun.
Aku tidak tahu apa yang kucari.

[PAUSE]

Kau di mana, SAHDI.
Suratmu tidak memberikan alamat. Aku heran kenapa. Apakah itu berarti bahwa aku tidak boleh bersurat ?
[Perlahan dia menuju ke amben lagi dan duduk. Merenung, menarik napas dalam-dalam].

SAHDI:
Betapa tidak tenteramnya aku di sini, SAHDIA.
SAHDIA.[Pada saat itu SAHDIA mengangat muka dan ‘mendengarkan’]. Kalau kau ingin mengetahui keadaanku yang sebenarnya, bacalah lagi suratku yang kukirim belum lama ini. Tentu sudah sampai.

[SAHDIA bergegas mengambil besek di kepala tempat tidurnya. Di sana ada surat SAHDI. Diambil, dikeluarkan dari amplopnya lalu dibaca. Yang terdengar adalah suara SAHDI di seberang].

Rinduku adalah rindu pada makna
yang memberikan warna pada teluk dan tanjung
agar kita tidak berada di desa yang sepi
dan menjadi asing padanya.

Lelakaku adalah mimpi gelisah bangun pagi
dan melihat patokan terpacak di halaman rumah
kelanjutan perih dari zaman ke zaman
dan menemukan diriku di tengah padang.

Kegelisahanku adalah kegelisahan yang berlanjut
tatkala di negeri seberang dera melilit
bersama ketakutan melihat matahari
dan wajahpun tambah buram pada halimun
di tengah padang gembala desa tak bernama
seperti catatan inaq tergores di tiang tengah rumah kita.

Kita adalah anak-anak tercerabut dari surga lama
dalam ceritera nina bobo nenek sehabis isya
dan tak tahu ke rumah mana akan pulang lalu
mengembara seperti Guru Dane dan Amaq Sumikir”.

SAHDIA [Setelah selesai ‘membaca’ surat SAHDI, cahaya lampu berubah:
biru/kuning bersamaan dengan SAHDIA maju, berhadapan dengan SAHDI].

Dulu kau bermimpi ingin menemukan suatu negeri impian dan meninggalkan daerah nyata tempat kau berjuang yang sebenarnya.
Aku tidak tahu apakah yang kau tulis itu suatu mimpi atau ceritera tentang dirimu sendiri.
Dan kalau kau menampakkan dirimu sekarang, kau tentu tak peduli karena suatu tujuan akhir itu tidak di sini tetapi di suatu tempat lain. Dan tak ada jalan untuk menghadapi nasib.

SAHDI:
kata-katamu makin menyiksa aku, di sini. Kau bicara soal nasib lagi. Nasib tidak menyelesaikan persoalan seseorang karena dia adalah persoalan itu sendiri. Ia bukan akhir tetapi sebuah perjalanan yang berlanjut terus. Tidak menaik terus dan tidak menurun terus.

SAHDIA:
kalau itu suatu perjalanan, kenapa panjang sekali jalan yang harus ditempuh.

SAHDI:
Memang demikian. Panjang.
Nasib merupakan sungai yang tak terbendungkan alirannya untuk menuju ke laut. Hal itu tidak tergantung pada kita. Satu-satunya hal yang tergantung pada kita adalah bagaimana mengatur alirannya, berjuang melawan alirannya dan tidak membiarkan diri kita terbawa arus seperti pohon tercabut dari akarnya.

SAHDIA:
Di sinilah nasib itu. Bukan di sana.
Di sinilah perjuangan itu, bukan di sana.

SAHDI:
Itulah soalnya.
Kadang-kadang perjalanan hidup ini merupakan ceritera dan dongeng karena di luar pengaturan kita. Di luar kesadaran kita. Kita tidak mampu.

SAHDIA:
Aku kira tidak, ia adalah kenyataan yang pahit.

SAHDI:
Tergantung bagaimana memahaminya.

SAHDIA:
Itulah yang membuat adanya pengertian salah pada pihak lain.

SAHDI:
Kalau begitu kita semua bersalah. Aku telah melakukan sesuatu atau banyak hal yang salah.

[PAUSE].

Tetapi kau harus mempercayai manusia pada akhirnya, SAHDIA. Kepercayaan inilah yang telah hilang selama ini. Di desa kita. Aku pikir sebenarnya semua orang perduli tentang kebenaran, kemerdekaan, keadilan. Atau hati nurani.

SAHDIA:
Tetapi semuanya berada di dunia yang berada. Banyak di antara kita yang tidak mampu melakukan penyeimbangan dengan dirinya atau dengan lingkungannya. Yang terbentang di sana adalah dunia bopeng dan tak ada keberanian untuk menyentuhnya. Ini membuat kita kesepian, terlupakan, tidak penting, tanpa hak.
Dulu kita berjuang antara tanah, ladang dan laut dan tidak pernah tahu siapa yang menang. Karena kita memahaminya sebagai kehidupan yang kita terima begitu saja. Kehidupan yang dijalani sejak nenek moyang kita dulu. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berani. Kita lalu cuma berbisik tentang ketakutan seakan-akan tak ada kemungkinan lain. Tak ada warisan tentang keberanian karena benda samar itu diletakkan di tempat terendah dalam susunan kebajikan.

SAHDI:
Keberanian itu tentu saja ada, SAHDIA.

SAHDIA:
Mungkin tetapi ia kadang-kadang lahir lewat watak yang tidak cocok, lalu menjadi sesuatu yang menggelikan.

[LAMPU kembali pada warna awal. Dan keduanya masih terpaku. Pada saat itu suara ketukan di pintu. SAHDIA terkejut sedikit dan berpaling untuk membuka pintu. SAHDI kembali ke ambennya dan memandang ke arah ‘ruangan’ SAHDIA].

Oh, kau. Silkahkan masuk.

[Seseorang WANITA masuk]

WANITA:
Bagaimana ?

SAHDIA:
Baik-baik saja.

WANITA:
Ada kabar dari SAHDI ?

SAHDIA:
Ada.Tetapi dia tidak menulis banyak.
Pokoknya kita tidak tahu bagimana kabar pastinya tentang dia.

WANITA:
Kita doakan saja.

[PAUSE].

Begini, SAHDIA.
Aku mau terus-terang padamu. Orang itu minta biaya lagi pada kita untuk mengurus surat-surat tanahmu supaya kau bisa tetap memilikinya. Dan aku masih lelah, baru tadi maghrib aku tiba dari kota kecamatan.

SAHDIA:
Apa yang tempo hari masih kurang ?

WANITA:
Katanya sih begitu.
Masih kurang. Ada beberapa orang lagi yang harus dibayar sebab bukan cuma dia. Urusan ini terus berlanjut ke atas, katanya.
Maklumlah. Sedang aku sendiri tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya.

SAHDIA:
Berapa lagi dia minta ?

WANITA:
Tidak banyak.Lima puluh ribu rupiah.

[SAHDIA agak terkejut mendengar jumlah itu].

Kalau memang kau tidak punya uang sekarang, orang itu mau membayarnya lebih dulu.

SAHDIA:
Berarti saya berutang padanya.
Tempo hari juga begitu.
Dan itu berarti hutangku padanya sudah hampir dua ratus ribu rupiah.
Bagaimana aku harus bayar?

WANITA:
Dia bilang tidak usah dirisaukan.

SAHDIA:
Maksudnya?

WANITA:
Dia orang baik, kau tenag-tenag saja.

SAHDIA:
Tidak, apa maksudnya.

WANITA:
Kapan kau punya uang , ya bayarlah. Pokoknya kau tidak akan ditagih secara paksa.

SAHDIA:
Aku percaya padamu, tetapi aku tidak punya uang sebanyak itu. Sertifikat tanahku kan sudah ada padanya.

WANITA:
Jadi kau tak mau bayar?

SAHDIA:
Ya.
[WANITA itu keluar tanpa pamit].

[Kemudian, pada saat itu pintu diketuk orang pada ruangan SAHDI. SAHDI terkejut dan SAHDIA berpaling memandang pada SAHDI. SAHDI tertegun sejenak sebelum membuka pintu].

SAHDI:
Oh, kau, mari masuk.

[Seorang LELAKI masuk].

Apa kabar ?

LELAKI:
Gawat ! Betul-betul gawat.

SAHDI:
Maksudmu ? Apanya yang gawat ?

LELAKI:
Aku didatangi lagi oleh orang itu. Ia minta uang lagi sebanyak lima puluh ringgit. Masih ada yang harus dibayar supaya surat-suratmu bisa keluar.

SAHDI:
Apa yang tempo hari belum cukup ?
.LELAKI:
Begitulah. Buktinya ia minta lagi. Kalau surat-suratmu keluar berarti kau bisa kerja pada siang hari. Tidak seperti sekarang, kau bekerja pada malam hari dan sembunyi-sembunyi lagi.

SAHDI:
Ya. Aku menderita sekali rasanya.
Aku ingin melihat matahari.
Ya, salahku juga. Kenapa aku percaya pada orang-orang yang membawa kita kemari. Setelah dua puluh hari dua puluh malam tersekap di bawah lunas kapal kecil yang melelahkan sekali. Aku mabuk sejadi-jadinya, terkuras semua isi perutku. Belum lagi bau mabuk dan muntah teman-teman lain berserakan tak karuan, memercik teman-teman di sebelahnya.

[PAUSE]

Sampai sekarang aku tidak tahu siapa yang disebut BAPAK waktu itu yang selalu disebut-sebut oleh calo-calo pencari kerja gelap itu. Aku tidak pernah melihatnya.
Kau tahu, dua hari-dua malam sebelum naik ke kapal kecil itu kami ditampung dulu di sebuah kebun kelapa, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Puluhan orang waktu itu.



LELAKI:
Itu resiko, namanya. Untuk mencapai apa yang kau inginkan kita harus berkorban. Uang, benda dan untung juga tidak nyawamu sebab kau selamat tiba di sini.

[PAUSE]

Kau menyesal ?

SAHDI:
Aku tidak bisa menjawabnya dengan tepat. Malah aku bingung. Barangkali. Soalnya makin menjadi jelas, banyak kesewenangan yang pandai menemukan alasan yang beradab. Punya dalih kadang-kadang filsafat, kadang-kadang ideologi. Rasa malu sudah tersimpan jauh-jauh di kolong yang kelam.

[PAUSE]

Pernah aku merenung sambil mengingat-ingat nyamannya berjemur di pantaiku yang indah di negeriku, yang katanya sekarang ini rakyat tak boleh lewat lagi, berapa besar nilai yang kuperjuangkan itu?!

SAHDI:
Harkat kemanusiaan sekedar untuk mendapatkan hidup yang nyaman dan layak tanpa berlebihan. Mungkin sedikit ketenangan. Tapi dari hari ke hari semuanya itu merupakan sesuatu yang makin sulit didapat. Dan aku ternyata terombang-ambingkan di antara semuanya itu.

LELAKI:
Kenapa kau makin tenggelam dalam lamunan seperti itu.

SAHDI:
Justru di sana sisa-sisa kekuatanku untuk bertahan dalam hidup ini. Kalau hal-hal itu habis, maka habis juga hidupku dan adalah lebih baik kalau menemukan kematian saja.

LELAKI:
Begitu konyol ?

SAHDI:
Bukan.Tetapi sebagai ujung dari suatu pemikiran yang macet dan ketidak perdulian dunia pada manusia.
Ada masyarakat sebagai perwujudan nilai-nilai terbaik yang berada dalam pikiran dan hati nenek moyang kita dulu, kini mengalami perubahan dengan cepat. Ada kebingungan karena masyarakat sendiri kini tak punya tempat untuk ikut mewujudkan nilai-nilai mereka sendiri dan sulitnya mencerna nilai-nilai yang berlaku yang bukan dari mereka.



LELAKI:
Bukankah itu berarti bahwa kebutuhan kita berlainan yang menyebabkan kita berlainan dalam melihat semuanya itu ?!

SAHDI:
Barangkali juga.

LELAKI:
Dewasa ini kita barangkali cuma bisa bicara pada tataran permukaan saja.

SAHDI:
Dan tataran itu agak rawan.

LELAKI:
Oleh sebab itu pemikiran kita dangkal-dangkal saja.
Kebutuhanmu kini jelas dan untuk mewujudkan kebutuhanmu itu diperlukan syarat-syarat tertentu.
Itu saja yang ingin kusampaikan padamu dan sekarang sepenuhnya tergantung bagaimana kau mampu mengatasinya.


SAHDI:
Bukan soal itu yang lebih penting. Pahami dulu apa yang kukatakan.

LELAKI:
Yang kukatakan padamu adalah jauh lebih nyata sekarang ini, SAHDI.
Kenapa kita masih repot dengan perasaan moral dan hati nurani segala.
Aku tahu, kau datang tidak dengan perasaan benci barangkali, dan bukan juga untuk mengagumi dirimu tetapi untuk berhasil.
Ya, untuk berhasil.
Dan jangan lupa, di balik yang sebelahnya lagi banyak orang yang mampu mengucapkan kata benci dengan bagus sekali dan dengan bagus pula menjadi sosok yang mencemohkan kemanusiaan.
Dan itulah dunia sekarang ini.
Kau pernah bilang, di desamu di sana kau didatangi oleh orang yang selama ini kau kenal bekas guru agama yang sering berkhotbah dengan air mata bercucuran dan muka yang sedih. Atau yang selama ini kau kenal sebagai orang yang membina kesenian sebagai perasaan paling halus yang dimiliki manusia, nembang di sampingmu dan dalam waktu yang bersamaan memasang jerat bagimu.
Atau orang yang menyandang tustel dengan catatan di tangannya yang kau kenal sebagai wartawan yang pura-pura mau membelamu tetapi pada dasarnya mengorek rahasia kelemahanmu dan jengkal demi jengkal tanahmu melayang dan keuntungan terbesar jatuh pada mereka.

[PAUSE. Suasana begitu hening dan mereka menunduk].
Itulah kehidupan yang barangkali justru tidak kita pahami. Tetapi itu nyata seperti kau melihat tapak tanganmu sendiri.
Manusia tidak hanya hidup dengan keadilan sekarang ini.
Untuk membunuh saja, ide saja tidak cukup; juga keberanian. Dibutuhkan pula nurani tetapi inilah titik lemah manusia yang paling pokok, pertentangan dengan nuraninya itu. Dan pembunuhan makin berlarut, malah barangkali dibatalkan.

[PAUSE].

Hidup penuh dengan kompromi, SAHDI. Juga dengan kebendaan. Dan yang paling sulit adalah kompromi dengan dirimu sendiri. Memang berat. Dan itulah hidup. Dan itulah perjuangan.

SAHDI:
Kau telah bicara panjang dan terima kasih kuucapkan padamu. Kau kembalilah dulu.

LELAKI:
Maksudmu?

SAHDI:
Aku tidak menjual atau menawarkan apa yang kuhadapi ini pada siapapun. Kalian boleh saja mengemukakan alasan-alasan pembenaran, tetapi tidak menyadari terjadinya apa yang disebut kejahatan yang bersifat pribadi sekali yang hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Kalian tidak mengolah sebuah kebenaran, tetapi kalian menerimanya sebagai barang jadi.
Tak ada uang lagi padaku. Semuanya sudah ludes.

LELAKI:
Kalau begitu tak ada jaminan akan berhasil.

SAHDI:
Apa boleh buat. Aku ingin tahu sampai di mana daya tahanku terhadap semuanya ini.

LELAKI:
Mungkin situasinya malah bertambah runyam.

SAHDI:
Kukatakan, apa boleh buat. Aku pasrah sekarang.

[LELAKI itu keluar dan setelah pintu ditutup, SAHDI kembali ke ambennya dan duduk di sana. Termenung. Suasana sepi sekali. Segala sesuatnya diam. LAMPU di ruangan SAHDI silih berganti perlahan berwarna biru, kemudian hijau, lalu kuning dan kembali lagi pada warna semula.Tapi kemudian padam perlahan-lahan ]



ADEGAN DUA.

Dalam kegelapan , lagu Kadal Nonga menggema perlahan, lambat dan memelas dibawakan oleh suara WANITA. Ketika lampu menyala perlahan warna kuning temaram tampak dukun tua/belian duduk di batu karang di tepi pantai

DUKUN TUA: [mengucapkan lelakaq].
Keluarga-keluarga itu telah pergi;
Daerah perbatasan tak lama lagi
akan dihancurkan.

Pernah kita punya ubi di sini
Lalu berganti menjadi batu.
Tahanlah kebencian
dan deritailah kematianmu.

Keluarga-keluarga itu telah pergi
Memare-made ke laut selatan
yang dulu menjanjikan keabadian,
kini tombak-tombak telah berantakan
dan meninggalkan manusia tak punya nyali.

Kami adalah pengembara yang lelah
menghadapi gelap seperti nurani penghianat
dan bayangan gelap musim kemarau itu tiba
seperti gurita yang tak bernama.

[Kemudian lampu perlahan padam tetapi nyanyian
Kadal Nonga itu masih nyaring terdengar. Dan ketika lampu mulai membias terang dan membagi lagi pentas itu menjadi dua ruangan, tampak di sana SAHDIA dan SAHDI duduk di ambennya masing-masing. Termenung dan menunduk].

SAHDIA [menyapa perlahan]
SAHDI….

[SAHDI mengangkat muka sedikit].

Kau ingat, hari ini hari Sabtu. Tadi sore aku melakukan ziarah-makam di makam kayangan tempat leluhur-leluhur kita beristirahat. Aku menangis di sana. Seperti biasa, aku minta supaya kita selamat semua. Dan hari Rabu lalu aku dan tetangga ke makam Wali Nyato. Kau tentu masih ingat sejarah Wali Nyato.

[PAUSE]

Dan sehabis panen yang lalu aku juga ikut upacara ngengapung dengan semua penduduk desa. Upacara ini dipimpin oleh belian Kurdap. Kami semua berenang di laut agar kami selamat.
Sudah tiga tahun upacara ini tidak dilakukan dan belian Kurdap mengingatkan semua penduduk desa. Ada kesadaran penduduk desa untuk melaksanakannya walau di sana wajah-wajah penuh kemuraman. Ada yang tak terkatakan, yang mengikat mereka. Ketika aku pulang, kami masih merenung sebentar dan menyaksikan matahari yang mulai tenggelam ke laut sebelah barat. Laut seperti terbakar. Merah menyala. Mendebarkan. Mungkin mengerikan ! Tapi ada kesedihan juga. Air mata tak kurasa mengalir. Kami tak tahu apakah tahun-tahun mendatang kami masih berhak menyaksikan keindahan itu lagi.

SAHDI:
Aku memahamimu, SAHDIA.
Aku memahamimu. Sungguh.
Banyak harapan seperti akan pupus begitu saja.
Tetapi kutekankan padamu, harapan-harapan , bagaimanapun harus mempunyai cadangan. Ini juga berarti bahwa kita harus pandai berendah hati. Ya, kutekankan, siap dengan pilihan yang tidak amat bagus.

SAHDIA:
Aku melihat dan menyaksikan betapa sulitnya kita mendapat ketulusan.

SAHDI:
Tentu, SAHDIA. Itu merupakan akibat langsung dari hal-hal sebelumnya. Aku masih memahami keadaan batin masyarakatku pada umumnya. Dari kecil kita dilatih dengan kekuatan batin untuk menahan diri, sesuatu yang cocok untuk kita dan kita akan celaka bila kita marah. Ketulusan sulit diharapkan dari mereka yang berada di luar masyarakat seperti itu. Selain memang mereka mempergunakan hal itu sebagai kelemahan kita, ketulusan juga memang sudah melenyap karena hati dan pikiran kita tidak merdeka. Tidak memungkinkan adanya hal-hal lain. Rumput di halaman harus dicukur sama, batu bata harus diatur sama pula. [PAUSE].
Kau paham? Ada ketakutan, yaitu ketakutan akan rusaknya jaringan pembagian kemiskinan yang ada, takut kehilangan teman tempat berbagi kemiskinan. Itu adalah pola-pola yang diwariskan secara turun-temurun dan kini terbentuklah apa yang disebut kepribadian kemiskinan, bagimana kita saling menyelamatkan dalam kemiskinan. Identitas kita sebagai suatu suku bangsa begitu lemahnya, penuh dengan sikap-sikap curiga. Dan tentu saja semuanya itu adalah hal-hal yang tidak baik, SAHDIA, tetapi betapa beratnya menghadapi semuanya itu. Kita seperti porak-poranda !

SAHDIA
Aku tidak paham, SAHDI.

SAHDI:
Kutekankan lagi, di luar sana seperti terdapat mendung berkepanjangan. Mungkin juga ketidakpedulian. Mungkin diperlukan saat-saat di mana kita tidak mudah untuk berbicara tetapi kau ketahui, SAHDIA, tidak gampang untuk diam. Aku tidak tahu tepatnya, bagaimana kata-kata harus diberi harga sekarang ini. Aku juga tidak tahu apakah sebuah isyarat akan sampai. Dan mungkin cuma berupa slogan-slogan yang terpampang di sepanjang jalan besar di kotamu. Berkibar dikibas angin, memanggil siapa saja yang lewat. Tetapi yang terbaca cumalah potongan-potongan kalimat yang bernada lucu.

Begitu SAHDI mengucapkan kalimat terakhir itu ketukan keras terdengar di ruangan SAHDIA. Keduanya terperanjat dan saling memandang berbarengan dengan ketukan keras sekali lagi terdengar.

SAHDIA:
Ya!
[Kemudian maju ke pintu dan membukanya. Seorang LELAKI dengan beringasan masuk. SAHDIA mundur dua-tiga langkah. Ketakutan. Walau ia tahu siapa orang itu].

LELAKI:
Kau menipu aku.
Kau menipu aku!
Tau? Pipil yang kau berikan padaku untuk kuurus itu adalah pipil palsu. Tau akibatnya? Aku dituduh menipu dan untuk itu aku berurusan lebih lanjut dengan polisi.

SAHDIA:
Itu tidak mungkin. Yang kuserahkan itu adalah pipil yang selama ini menjadi milik amaq. Tidak mungkin.

LELAKI:
Aku tidak perduli itu.Tetapi sekarang aku yang kena getahnya. Tapi kau tidak akan lolos. Sewaktu-waktu kau bisa diusir di samping berapa biaya yang kubutuhkan untuk berurusan dengan yang berwajib.

SAHDIA:
Kalau begitu kembalikan pipil itu.

LELAKI:
Pipil itu sudah ditahan yang berwajib untuk proses lebih lanjut.

SAHDIA:
Lalu di mana bantuanmu yang kau janjikan padaku.

LELAKI:
Jangankan bantuan, aku sekarang dalam kesusahan gara-gara pipil palsu itu.

SAHDIA:
Ya Tuhan! [Ia panik dan menutup mukanya lalu terisak-isak. Menangis].

LELAKI:
Camkan itu, SAHDIA !
[Ia keluar dengan membanting pintu. SAHDIA terkejut mengangkat muka. Ia terpaku, tertegun tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. SAHDI di ruang sebelah tertegun sejak semula].

SAHDI:
Gusti Allah.
Betapa menderita batinku dalam penjara kedirian yang asing.

[PAUSE].

Langkah pertama adalah pendakian
tapi di mana harus kutemukan
penyangga yang tak goyah
di bawah lengkung langit ini ?
Orang-orang tak punya makna lagi tempat
bertanya
dan mereka melihatku tanpa bermuka*).

[Kemudian ia termenung, menerawang jauh ke depan].

SAHDI,
kuheningkan alam untuk sukmaku
yang dirantai kebodohan
yang turun temurun.

[PAUSE].,

SAHDI,

[Tapi pada saat itu pintu diketuk orang lagi.
Lagi-lagi SAHDIA terkejut, nafasnya turun naik, menutup mata, menangis].

Siapa?

LELAKI:[OSV]
Aku, SAHDIA. Bukakan pintu. Aku memang terpaksa datang malam-malam begini.
[Rupanya SAHDIA mengenal suara itu, ia bangkit dan cepat menuju ke pintu. Dibuka].

SAHDIA:
Oh, mamiq, silahkan.

[Seorang LELAKI dengan tustel bergelantungan di lehernya, tape kecil di tangannya berdempetan dengan notes/catatan kecil, memakai jaket. Ia memandang ke sebuah kursi reot, lalu duduk. Mereka berhadapan].



LELAKI:
Aku mau tulis semua kisah sedihmu, SAHDIA. Wartawanlah satu-satunya yang mampu menyampaikan suara orang-orang lemah, suaranya tidak terdengar, orang-orang yang menderita, orang-orang yang tersudut. Kamilah orang-orang yang ditakdirkan untuk itu. Kau tahu, yang disebut interaksi positif itu ?

SAHDIA:
Saya tidak paham, miq.


*).Kutipan dari JATISUARA, karangan Drs.Lalu Agus Faturrahman


LELAKI:
Tak apalah. Itu artinya, cuma kami, pemerintah dan masyarakat. Tapi yang mampu mencuatkan persoalan kalian cuma kami, kami wartawan ini.

SAHDIA:
Saya sih tidak tahu betul tentang kalian. Sudah tiga kali ini kau kemari dan selalu bilang akan membantu aku. Apa yang kau minta sudah kuserahkan padamu. Tinggal satu benda paling berharga yang belum kuserahkan padamu. Kehormatanku. Apa yang kau perjuangkan ?

.LELAKI:
Harga tanah yang pantas.
Tapi kau harus ingat. Ada batas-batasnya. Wartawan itu menulis. Karena di negara kita ini ada yang disebut sistim pers yang bebas dan bertanggung jawab.

SAHDIA:
Saya sih tidak mengerti, miq.

LELAKI:
Tidak apa.
Dan, dan, ya, ada lagi yang disebut Kode Etik Jurnalistik. Sulit kujelaskan padamu, SAHDIA.
Di sampin aku membela kalian, aku juga harus memuji para pejabat. Mereka-mereka itu senang dipuji. Sebutkan saja namanya di koran, maka alangkah senangnya mereka, apalagi tentang keberhasilan mereka. Kau harus tahu itu.
Dan setiap pujian di koran itu berarti amplop, paling sedikit Rp 150.000,00 isinya. Padahal, kalau aku mau jujur padamu saja, para pejabat itu saling menyalahkan, menjelek-jelekkan satu sama lain. Tapi itu hanya padaku saja diucapkan. Ini namanya off the record. Aku menggenggam rahasia-rahasia mereka.

SAHDIA:
Saya sih tidak paham hal-hal itu, miq.

LELAKI:
Tak apalah. Pokoknya kau dengar apa yang kuucapkan.
Dan tahulah, pejabat itu paling senang kalau dikatakan bahwa mereka itu membela rakyatnya, seperti bunyi salah satu spanduk di kota. Mereka berjuang untuk rakyat.

SAHDIA:
Lalu bagaimana pipil dan sertifikat yang kuserahkan pada mamiq untuk diperjuangkan itu?

LELAKI:
Oh, itu. Tidak usah khawatir. Berada di tanganku berada berada di tangan yang aman dan semuanya sudah kuserahkan pada seorang petugas dan abdi negara ini. Yang tiap senin mengucapkan sumpahnya, yang disebut Sapta Prasetya Korpri. Ia akan melayani kita-kita ini. Aku tak boleh menyebut namanya padamu. Ini namanya merahasiakan sumber berita. Wartawan itu bekerja sedikit rahasia juga. Tidak boleh semuanya terbuka.

SAHDIA:
Saya sih tidak paham, miq.

LELAKI:
Tak apa.
Tapi, SAHDIA, aku membeli sebuah kendaraan roda empat pada seorang dealer di kota. Toyota Taft nama atau merk kendaraan itu. Dengan jaminan sertifikat darimu itu sebelum kuserahkan pada abdi negara itu. Tidak enak rasanya jadi wartawan cuma jalan kaki ke sana kemari. Termasuk datang ke desam ini. Ada yang disebut gengsi itu. Dengan demikian pejabat-pejabat jadi percaya dan yakin padaku.

SAHDIA:
Kenapa begitu, miq?

LELAKI:
Apa kau tidak percaya padaku?

SAHDIA:
Bukan begitu, miq.

LELAKI:
Aku turunan bangsawan, SAHDIA.
Tak mungkin menipu kalian. Jelek-jelek aku juga sudah naik haji walau bukan dengan uangku sendiri. Adakan yang namanya haji jatah, begitu.
Aku bisa menelusuri silsilahku. Aku adalah salah seorang turunan dari raja, entah Pejanggik atau Langko, aku lupa. Dan sebelumnya adalah asal Pamatan, kerajaan tertua di bumi Lombok ini.
Kau masih tidak percaya?
Aku adalah bagian dari kau. Nenek moyangmu adalah rakyat di ketiga kerajaan itu.

[PAUSE]
Maka tenanglah.
Jangan katakan pada siapapun bahwa aku mengenal kau. Ini cara kerja wartawan. Paham?

SAHDIA:
Paham, miq.

LELAKI:
Nah, kalau begitu bagus. Aku pergi dulu. Aku akan datang secepatnya.

[LELAKI itu keluar setelah mencoba mendengar kalau-kalau ada orang di luar. Memang agak lama di sana, sementara SAHDIA hanya memandang dengan kosong pada wartawan itu. Setelah berbalik sebentar, lalu keluar].-

[Kemudian SAHDIA berbalik, memandang ke ruangan II/SAHDI. Mereka berpandangan].

LAMPU BLUR.


SAHDI:
Aku tidak tahu pasti apakah itu sesuatu yang timbul karena persentuhan kebaikan. Sebuah harapan yang kuno sekali. Kau bisa menyadari, SAHDIA, bahwa dewasa ini optimisme itu harus dibikin sendiri. Suasana sekitar tidak memungkinkan hal itu. Di hadapan kita menunggu banyak ketidakpastian. Bagaikan lautan Hindia yang kelam, yang luas tak bertepi. Pada saat-saat mata kita jalangkan terus menunggu waktu menyerbu ke lau untuk menangkap nyale.*) .

[PAUSE]

Aku rindu upacara bau Nyale, SAHDIA.
Di sana aku bisa mengeluarkan isi hatiku lewat lelakaq **). Lelakaqlah satu-satunya seni kita yang kusenangi karena ia mampu mengatasi kemasabodohan yang mematikan orang-orang Lombok yang timbul tatkala kita Cuma merayap dari satu kebiasaan ke kebiasaan yang mematikan. Seni melawan kebiasaan yang mematikan.


SAHDIA:
Aku memahami, SAHDI.
Kemerdekaan mengakibatkan kesepain bagimu.

*). Nyale= semacam cacing laut yang warna-warni.
**). Lelakaq = pantun dalam bahasa Lombok/Sasak.
Kau pergi karena ingin merdeka dan bebas dari belitan kemiskinan di desa kita. Pembicaraan-pembicaraan tentang hal itu sudah begitu ramai; hampir setiap orang bicara soal yang sama dan semuanya mengeluarkan suara-suara yang gaduh. Wartawan-wartawan menulis dan bicara yang sama dan sama sekali tidak menciptakan suatu rasa kebersamaan dan kedekatan dengan kita.

SAHDI:
Memang begitu, SAHDIA.
Mereka tahu persis bagaimana harus menulis dan bicara. Makna-makna tidak boleh tepat, harus kabur karena di sanalah mereka berlindung.

[PAUSE].

Berlindung dalam kekaburan makna itu.
Padahal kita sangat mengharapkan kata-kata yang ditulis mereka akan merupakan bagian dari suatu pencarian dan perjalanan batin. Yah, katakan bagian dari seluruh sejarah kepribadian mereka.

SAHDIA:
Sudahlah, SAHDI. Aku tambah bingung. Yang kutahu hanyalah bahwa harapan memang tidak boleh dikuburkan begitu saja seperti katamu. Sebab masih ada orang-orang yang bersih. Kita punya hak untuk berharap.

SAHDI:
Memang, walaupun kemiskinan kita bagi mereka bukan soal pokok. Tak ada yang bisa membatasi mereka kini, sehingga dunia dan manusia yang kita kenal itu menjadi tidak berharga sama sekali. Ini mengerikan sekali dan inilah sebenarnya titik perlawanan manusia.
Yang paling hakiki miliki kita telah direnggut, yaitu tujuan hidup itu sendiri. Dan hal ini membuat kita menderita.
Kita memang sulit menerima bahwa di sana ada dusta dan dusta itu begitu memberikan sifat penting pada orang dan berbagai hal. Kebenaran tidak akan membuat orang seperti itu, ya, sedikit saja kebenaran tentu akan membuat mereka malu dan betapa munafiknya kita selama ini.
Atau tak usahlah kita bicara soal kebenaran karena akan membuat kita bingung. Tetapi letakkanlah hati pada setiap perbuatan dan tindakan kita.

[PADA SAAT ITU PINTU TERDENGAR DIGEDOR DENGAN KERAS.SAHDIA SEKETIKA TERKESIAP SEBENTAR DAN MEMANDANG NANAR KE ARAH PINTU. TERDENGAR LAGI SUARA KETUKAN DENGAN KERAS. SAHDI MUNDUR TETAPI TERDENGAR SERUAN DARI LUAR]. LAMPU !

LELAKI:
Bukakan pintu.
Kami datang menjemput kau. Kau pendatang haram !!

SAHDI [Maju ke pintu dan membukanya. Tiga orang masuk. Ternyata askar berpakaian preman].
Apa saya harus ditangkap ? Apa masih kurang yang saya bayar pada kalian?

LELAKI:
Tutup mulutmu !
Di negeri kami soal itu tidak berlaku. Kalau di negeri kau bolehlah. Di sini lain.

SAHDI:
Tetapi….

LELAKI:
Nanti di sana saudara boleh berucap panjang-panjang. Tidak terhadap diri kami.
[SAHDI dibawa. Sebelum keluar ia berbalik dan memandang pada SAHDIA. Agaka lama mereka berpandangan. Lalu dia dibawa juga].

SAHDIA:
SAHDI, SAHDI….
[SAHDI hilang dibawa. Pada saat itu pintunya digedor orang. Dua orang masuk. SAHDIA berpaling menghadapi mereka].

Ada apa ?

[Kedua orang itu masih berdiri di sana memandang tajam padanya].

Katakan apa yang kalian kehendaki.

.LELAKI [Mengeluarkan selembar kertas dan mencoba membacanya].
Ini ada perintah dari atasan kami, supaya kau dengar.
Karena ternyata pipil dan keterangan-keterangan lainnya tentang pemilikan tanah atas nama Amaq SAHDI adalah palsu, maka mulai hari ini, 22 Desember 1991, tanah-tanah yang menjadi miliknya disita oleh negara.

[LELAKI itu berhenti sebentar lalu melanjutkan].

Kepada pemegang hak tanah sekarang, yaitu yang bernama SAHDIA, akan diberikan pesangon yang besarnya akan ditentukan kemudian setelah mendengar berbagai pihak. Dan sehari sesudah surat ini keluar yang bersangkutan harus meninggalkan rumahnya.”

[Orang itu berhenti membaca surat tersebut dan memang sudah selesai/tamat. Ketiganya saling berpandangan, kemudian SAHDIA menutup mukanya. Terisak, menangis. Tetapi kemudian ia mengangkat mukanya dan masih dalam suara tangisnya ia berkata]:

SAHDIA:
lalu kemana aku harus pergi.
Kemana aku harus pergi.

[PAUSE].

Kemana aku harus pergi.

LELAKI:
Kau kan punya saudara atau keluarga di desa seberang sana. Kau boleh tinggal di sana sementara.

SAHDIA:
Kemudian aku harus pergi kemana?

[Dalam isakan tangis yang deras.]

Kemana aku harus pergi?
Tanah ini begutu kucintai, kubenah dengan penuh kasih sayangku. Aku mencintai tanah ini ! Aku mencintai tanah ini. Kenapa aku harus berpisah dengan tanah ini ?

LELAKI:
Bersiaplah SAHDIA. Tak ada waktu lagi.

[SAHDIA mengemas barang-barangnya terutama pakaiannya; dibuntel dengan kain panjang kumal. Ia berdiri dan akan menuju ke pintu. Ia berhenti sejenak dan memandang kesegenap penjuru kamar tersebut untuk terakhir kalinya. Kemudian ia berbalik dan keluar diikuti oleh dua orang LELAKI tersebut].

LAMPU SEKITAR MEREDUP KEMUDIAN SOROT LAMPU TERTUJU PADA WAJAH SEORANG DUKUN TUA, MAKIN LAMA MAKIN TERANG.-


ADEGAN TIGA:

Lampu menyoroti wajah dukun tua yang duduk di atas batu karang.


DUKUN:
Keluarga-keluarga itu telah pergi;
Daerah perbatasan tak lama lagi
akan dihancurkan.

Pernah kita punya ubi di sini
lalu berganti menjadi batu.
Tahanlah kebencian
dan deritailah kematianmu.

Keluarga-keluarga itu telah pergi
melengkapi derita anak manusia
yang pernah dijalin dengan mimpi indah
tapi hancur bertebaran di tanahnya sendiri.

Kami adalah pengembara yang lelah
menghadapi gelap seperti nurani penghianat
dan bayangan gelap musim kemarau itu tiba
seperti gurita yang tak berwarna.


LAMPU kemudian padam pelan-pelan. Gelap total.Masih tersisa lagu Kadal Nonga sedikit, lagu suku bangsanya.Kemudian lagu itu habis.Sepi.

Mataram, 22 Desember 1991

GLOSSARI:
1.Amaq : Bapak [untuk rakyat biasa]
2.Bellan :Dukun.
3.Cakepan :Lontar-lontar yang berisi satu ceritera/sejarah dikumpulkan jadi satu.
4.Inaq :Ibu
5.Lelakaq :Nyanyian/pantun Lombok/Sasak
6.Mamiq :Bapak[untuk orang bangsawan]
7.Mamare-made :Suatu kegiatan menangkap ikan di laut selama 4-5 malam.Biasanya beberapa keluarga menginap di pantai dengan membuat bangunan darurat. Dilakukan menjelang turun ke sawah.
8.Nunas :Pengemis.
9.Ngengapung: Suatu upacara berendam di laut yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa. Upacara ini dimaksudkan untuk menolak bahaya dan mohon keselamatan.
10.Nyale :Cacing laut yang keluar sekali dalam setahun di pantai selatan Lombok. Dikaitkan dengan legenda Putri Mandalika yang cantik. Ada upacara bau nyale[menangkap nyale] beramai-ramai pada setiap malam tanggal 20 bulan atas [Arab], yang biasanya jatuh dalam bulan Februari. Di Kuta [Selatan Lombok] tempat yang paling ramai untuk upacara ini kini sedang dibangun hotel-hotel berbintang. [***]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 TEATER